Where I Belong S01E07 (part 2)

Marc menuruni tangga hendak menuju teras samping rumah tempat Zayn, Aviva dan Logan sedang berdiskusi mengenai persiapan acara pentas seni. Ia berbelok menuju dapur sebentar, hendak mengambil sebotol air mineral dingin di kulkas. Tak disangkanya ada Alex di sana, sedang membuka pintu kulkas juga.

Tatapan Alex penuh dengan sorot merendahkan begitu melihat Marc memasuki dapur.

“Jadi ini alasan sebenarnya kenapa kau dan keluargamu datang kemari?”

Marc mencium ada bau permusuhan dalam nada suara Alex. Ia menjawab dengan hati-hati. “Apa maksudmu?”

“Mereka semua datang kemari karena butuh dana untuk acara pentas seni, kan?”

Punggung Marc menegang. Dari mana Alex tahu kalau adik-adiknya sedang mempersiapkan acara itu?

“Apa yang mau kalian lakukan, memohon pada ayahku untuk mendanainya? Seperti itu? Karena itukah kalian semua datang berbondong-bondong kemari?”

Tawa melecehkan Alex menyulut kemarahan Marc.

“Mereka datang kemari karena permintaanku. Supaya mereka bisa berkenalan dan akrab dengan keluarga kandungku. Tapi apa yang kau lakukan? Berjabat tangan pun tidak. Makan malam bersama pun tidak. Padahal sudah kuminta kau untuk bersikap baik pada mereka.”

Alex kembali tertawa dengan nada melecehkan. “Bersikap baik pada orang-orang yang mau meminta-minta? Bahkan mereka kemari karena ada maunya. Jadi buat apa aku bersikap baik pada mereka?”

“Sudah kubilang,” geram Marc sambil mengepalkan tangannya di samping badan. Tatapan matanya mengeras. “Mereka kemari karena aku yang mengundangnya, bukan karena kemauan mereka sendiri! Dan bukan karena adik-adikku ingin meminta-minta! Mereka memang sedang butuh dana untuk acara pentas seni, dan memang aku sudah berniat akan berusaha mendapatkan bantuan dari Ayah, tapi—“

“Nah, kan!” Potong Alex. “Bilang saja kau kemari karena ada maunya! Bukankah kau pernah cerita kalau ayahmu itu pengusaha minimarket? Kenapa tidak ayahmu itu saja yang menanggung biaya acara bodoh itu? Kenapa, hah? Apakah uangnya sudah habis untuk membiayai sembilan anak berisik yang tidak tahu sopan santun?”

“Kaulah yang tidak tahu sopan santun!”

Tinju Marc pasti sudah mengenai rahang Alex jika Taylor tidak tiba-tiba muncul di belakangnya dan menarik tangannya.

“Marc! Kau ini apa-apaan?!”

Kakak perempuannya itu kini berdiri di antara dirinya dan Alex. Sepasang manik safir Taylor menatap Marc dengan sorot menuntut penjelasan.

“Kenapa kau hendak memukul adikmu seperti itu!?”

Amarah Marc perlahan surut. Ia menurunkan tinjunya dan melepas cengkeraman Taylor di tangannya. Di balik bahu Taylor, dilihatnya Alex tersenyum penuh kemenangan. Ubun-ubun Marc terasa mendidih lagi.

Tak kunjung mendapat jawaban, Taylor menoleh menatap Alex. Remaja itu kini menundukkan kepala untuk menyembunyikan senyumnya.

“Kalian bertengkar?” Tanya Taylor dengan nada lebih lembut. “Karena apa? Tidak harus diselesaikan dengan saling pukul, kan?”

“Tanya Marc saja,” jawab Alex enteng sambil berjalan keluar dapur.

***

Taylor bisa merasakan ada atmosfer permusuhan antara Marc dan Alex di meja makan ketika sarapan keesokan paginya. Keduanya tak saling sapa, bahkan Marc sengaja memilih kursi sejauh mungkin dengan Alex. Adik laki-lakinya itu tak sekali pun melempar senyum pada saudara kandungnya. Taylor yakin, ini pasti ada hubungannya dengan Marc yang nyaris menonjok Alex semalam, walau Marc sama sekali tak menjawab pertanyaannya tentang apa yang terjadi di antara mereka.

Ketegangan antara Marc dan Alex dirasakan juga oleh saudara-saudari Marc yang lain. Mereka kenal betul perangai Marc yang tidak bisa diam di meja makan. Minimal ia akan mengomentari apapun yang dikatakan Kenzie atau Suri. Tapi kini Marc terlihat lebih banyak diam dan bahkan terlihat kesal. Terutama ketika ia secara tak sengaja menatap Alex.

Tentu saja Marc tidak terima dengan perkataan Alex yang begitu merendahkan keluarga angkatnya. Siapa yang tidak akan marah jika anggota keluarganya dikata-katai miskin, meminta-minta, dan ada maunya? Marc benar-benar ingin menonjok mulut besar Alex. Diam-diam ia menyesali kedatangan Taylor ke dapur semalam. Merusak rencana jahatnya saja.

“Kami berharap bisa menginap di sini lebih lama lagi,” ucap Paul di sela-sela ocehan Kenzie. Ia menatap Alex dengan senyum tulus terukir di wajahnya. “Kami juga sebenarnya berharap bisa bertemu dengan kedua orangtuamu. Tapi perjalanan bisnis itu memang tidak bisa ditunda, ya?”

“Tidak,” jawab Alex singkat. Ia melanjutkan mengunyah makanannya dan selama sedetik, Marc menangkap ada senyum merendahkan yang ditampakkan di wajah adik kandungnya itu.

Aku tahu apa yang kau pikirkan, Bocah Bodoh, batin Marc. Kau pasti berpikir kalau kami ingin menginap lebih lama karena ingin meminta uang pada Ayahmu dalam jumlah lebih besar lagi. Asal kau tahu, Otak Udang, keluargaku tidak serendah itu. Setidaknya kami lebih punya perasaan daripada dirimu yang hanya tahu bagaimana cara menghambur-hamburkan uang orangtua.

Setelah sarapan selesai, Edward membereskan meja dengan dibantu Taylor. Walau kepala pelayan itu berkali-kali mengatakan kalau ia bisa melakukannya sendiri, namun tangan Taylor dengan cekatan tetap memindahkan piring-piring dan gelas-gelas dari atas meja ke wastafel. Marc membantu adik-adiknya menata barang-barang mereka yang hari ini akan kembali pulang ke rumah. Dengan berat hati dimasukkannya tas ransel berisi pakaian kotor Kenzie dan Suri ke dalam bagasi mobil. Sama seperti perkataan sang ayah barusan, ia juga menginginkan mereka menginap lebih lama lagi di sini.

Maddy tengah memasangkan sabuk pengaman untuk Kenzie saat ia teringat satu hal. Dilongokkannya kepalanya hingga tatapannya bersirobok dengan Marc.

“Marc, eh… kurasa ponselku tertinggal di kamarmu semalam. Bisa tolong kau ambilkan?”

“Ya ampun, kau sering bilang Suri pelupa, tapi kau sendiri mudah lupa,” cemooh Marc.

Maddy mencebik. “Ya sudah, nanti kuambil sendiri saja.”

“Iya, iya, ini aku ambilkan,” Marc berbalik sambil terkekeh melihat ekspresi kesal Maddy. Ia berjalan cepat menaiki anak tangga menuju kamarnya. Di sebelah komputer yang semalam dioprek habis oleh Maddy, tergeletak ponsel berwarna hitam dengan casing silikon biru muda. Diraihnya ponsel itu dan dilangkahkannya kakinya menuruni tangga kembali ke halaman depan.

Berdiri di bawah tangga adalah Alex yang tengah melipat tangan dan menatap ke arah Marc dengan senyum merendahkan.

“Aku bersyukur mereka segera pulang dan tidak berlama-lama di sini.”

Marc merasa punggungnya menegang, namun ia tak mengindahkan celaan itu dan bergegas menuju pintu depan.

“Kalau perlu, tidak usah kau undang mereka kemari lagi. Berisik! Bocah ingusan itu berbicara terus dan tidak mau berhenti sebelum aku mendorongnya. Penampilan saudara laki-lakimu itu juga menyeramkan. Yang berjenggot. Siapa namanya? Zayn? Dia tampak seperti teroris.”

Marc sudah tidak bisa menahan amarahnya lagi. Ia menerjang maju ke arah Alex dan mencengkeram kerah bajunya dengan kasar. Didorongnya punggung Alex sampai menempel tembok. Tatapannya berkilat-kilat penuh emosi.

“Kau boleh menghinaku sesukamu, tapi jangan pernah, kuulangi, JANGAN PERNAH kau hina keluargaku!!”

Bersamaan dengan selesainya kalimat itu, bogem mentah Marc bersarang di rahang bawah Alex. Ia melepaskan cengkeramannya di kerah baju Alex dengan kasar. Tak dipedulikannya ringis kesakitan adik kandungnya itu. Dadanya naik turun menahan emosi yang masih meluap-luap. Kilat amarah di matanya belum juga redup, bahkan setelah dilihatnya setetes darah mengalir dari mulut Alex.

Alex berusaha bangkit sambil mengusap mulutnya. Ia masih terhuyung saat Marc bersiap melayangkan pukulan kedua. Namun kali ini, tangan seseorang terulur dari samping dan menghentikan laju bogem mentah berikutnya.

“Sudah, Marc.”

Itu suara Zayn. Ia menarik Marc supaya mundur menjauhi Alex. Ada rasa khawatir dalam suara dan tatapan matanya.

“Sudah,” ulang Zayn. Setelah dirasanya Marc tak akan menyerang adiknya lagi, Zayn berbalik dan membantu Alex bangkit. Yang dibantu justru menepis tangan Zayn. Ia berdiri sendiri, meludah ke lantai dan menatap Zayn dengan tatapan merendahkannya yang terlihat begitu memuakkan bagi Marc.

“Keluar dari rumahku, dan jangan pernah berani menjejakkan kaki di sini lagi!”

Marc sudah hendak mengeluarkan kata bentakan sebagai balasan saat Edward muncul dan berlari mendekati Alex.

“Tuan Muda! Astaga, Tuan Alex, apa yang terjadi? Kenapa berdarah-darah begitu?”

“Antar Tuan Muda kesayanganmu ini ke kamarnya, Edward,” perintah Marc sarkas.

Edward merasa bingung dengan Marc yang tampaknya tak acuh dengan kondisi Alex. Ia berusaha membantu Alex berjalan namun adik Marc itu segera menepis tangannya dan berderap menaiki tangga menuju lantai dua. Edward tak punya waktu untuk bertanya apa yang terjadi. Ia menyuruh Mike untuk membawakan obat merah dan kapas sementara ia sendiri menyusul Alex ke kamarnya.

Sepeninggal Edward, barulah Marc bisa mengatur napas dan emosinya.

“Seandainya kau mendengar apa yang dikatakan Alex, Zayn, kau pasti juga akan bereaksi sama sepertiku.”

“Aku mendengar semuanya,” ucap Zayn, sukses membuat Marc melongo. Dalam hati ia heran bagaimana Zayn bisa tetap tampak begitu tenang setelah mendengar seseorang menghinanya dengan begitu kejam. “Aku juga dengar kemarin dia menyebut kita sebagai keluarga bar bar.”

Amarah Marc kembali tampak. Ia menatap Zayn tak percaya.

“Sudahlah, Marc,” lugas Zayn. Ia menahan tangan Marc, tahu kalau sedetik lagi saudaranya itu akan menyusul Alex dan kembali menonjoknya. “Kau mau memukulnya seratus kali pun, itu hanya akan membuatnya lebih membencimu.”

Setelah jeda beberapa detik, Marc menatap Zayn dengan penuh harap.   “Kalau aku meminta kalian untuk menginap di sini lagi… kau mau, kan? Walau Alex mengataimu seperti itu?”

Zayn menarik napas panjang. “Seharusnya aku yang bertanya padamu, Marc. Apakah kau masih mau tinggal di sini setelah apa yang Alex katakan tentang kita?”

…to be continued

4 thoughts on “Where I Belong S01E07 (part 2)

  1. Alex minta disekolahkan di sekolah tata krama *halah* songong parah dedek Alex. Sukur dijotos lu *plak 😀 Zayn bijak, betul juga tuh kata2 terakhirnya. Next ya kak 🙂

  2. Hiiiiii Alex minta ditusuk pake tusuk gigi itu mulutnya gak tau sopan santun. Tapi ya wajar sih ya. Situasinya emang mendukung Alex untuk mikir kayak gitu. Ditambah dari awal Alex udah ada sentimen. Makin panas ya kk lanjutkan 😚

Leave a comment